The developments of graffiti art which took place in art galleries and colleges as well as "on the street" or "underground", contributed to the resurfacing in the 1990s of a far more overtly politicised art form in the subvertising, culture jamming or tactical media movements. These movements or styles tend to classify the artists by their relationship to their social and economic contexts, since, in most countries, graffiti art remains illegal in many forms.
Contemporary practitioners, accordingly, have varied and often conflicting practices. Some individuals, such as Alexander Brener, have used the medium to politicise other art forms, and have used the prison sentences forced onto them as a means of further protest.
The practices of anonymous groups and individuals also vary widely, and practitioners by no means always agree with each others' practices. Anti-capitalist art group the Space Hijackers, for example, did a piece in 2004 about the contradiction between the capitalistic elements of Banksy and his use of political imagery.
On top of the political aspect of graffiti as a movement, political groups and individuals may also use graffiti as a tool to spread their point of view. This practice, due to its illegality, has generally become favoured by groups excluded from the political mainstream (e.g. far-left or far-right groups) who justify their activity by pointing out that they do not have the money – or sometimes the desire – to buy advertising to get their message across, and that a "ruling class" or "establishment" control the mainstream press, systematically excluding the radical/alternative point of view. This type of graffiti can seem crude; for example fascist supporters often scrawl swastikas and other Nazi images.
Both sides of the conflict in Northern Ireland produce political graffiti. As well as slogans, Northern Irish political graffiti include large wall paintings, referred to as murals. Along with the flying of flags and the painting of kerb stones, the murals serve a territorial purpose. Artists paint them mostly on house gables or on the Peace Lines, high walls that separate different communities. The murals often develop over an extended period and tend to stylisation, with a strong symbolic or iconographic content. Loyalist murals often refer to historical events dating from the war between James II and William III in the late 17th century, whereas Republican murals usually refer to the more recent troubles
JENIS JENIS STYLE
1.Chinese Graff style
2.Wiggles Bboy style
3.Softy Letter style4.Shadow style W 3D
5.Shadow style W 3D
6.Puzzle style
7.Flava Wildstyle
8.Wildstyle
9.Wildstyle FREE
graffiti style sumber http://www.learngraffiti.net
GRAFFITI
Graffiti yang berasal dari bahasa yunani "graphein" (menuliskan),diartikan oleh wikipedia.org sebagai coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum,atau tempat pribadi.Coretan tersebut bentuknya bisa berupa seni,gambar,atau hanya berupa kata-kata yang terlihat memiliki volume/ruang didalamnya dengan berbagai warna yang menarik untuk di lihat.Orang yang membuat graffiti di sebut bomber atau writer,graffiti biasanya digunakan untuk menunjukkan suatu kelompok atau gank yang di sebut tagging graffiti,tetapi alangkah baiknya jika graffiti digunakan untuk menyampaikan pesan positif kepada masyarakat seperti kritikan,himbauan atau anjuran dan bukan corat-coret tulisan sembarangan yang tak berseni.Tetapi terkadang banyak orang yang menilai graffiti sebagai seni yang melanggar hukum karena dituangkan dalam media tembok rumah seseorang,padahal para bomber hanya ingin karya mereka dilihat orang dan diperhatikan orang,toh graffiti yang mereka buat bagus-bagus dan berseni,karena graffiti adalah suatu seni yang jarang orang dapat membuatnya,seperti dgn contoh biasanya para bomber atau writer menggambar graffiti pada malam hari yang hanya ada sedikit cahaya yang menerangi mereka,bayangkan saja anda menggambar di tempat yang hanya sedikit cahaya yg bisa masuk,tetapi pada keesokan harinya orang-orang ternganga dengan karya mereka dan biarlah orang-orang menilai graffiti manakah yang terbaik yang pernah mereka lihat.Radical And Political.
Graffiti juga memiliki reputasi yang cukup buruk di mata pemerintah hampir di seluruh negara, karena graffiti dituduh sebagai media yang paling frontal untuk menghujat atau pun mengkritik secara keras sebuah pemerintahan di sebuah negara. Walau pun kini banyak grafiti yang telah meninggalkan cara seperti itu, namun tetap saja pemerintah masih banyak yang tidak setuju dengan hal yang satu ini. Bisa dibilang seni ini merupakan sebuah seni yang termasuk kategori underground. Bisa dibilang demikian karena kegiatan ini dilakukan secara diam-diam dan biasanya dilakukan pada malam hari. Membicarakan graffiti dan politik maka tidak akan lepas dengan seorang tokoh yang bernama Alexander Brener. Ia lah yang pertama kali membawa politik ke seni, dan ia juga lah yang pertama kali menyuarakan politik lewat media yang satu ini.
Andai saja pemerintah memberi tempat khusus yg layak bagi mereka,tentu karya-karya mereka akan tersalurkan dengan baik,atau paling tidak memberikan ketentuan dan sanksi mengenai keberadaan graffiti di Indonesia agar para bomber tidak perlu lagi khawatir dan kebingungan dengan kegiatan mereka.Tetapi saya menghimbau agar teman-teman jangan langsung menggambar graffiti di tembok langsung dengan cat atau pilox,sebaiknya teman-teman mencoba membuat graffiti percobaan di kertas dengan menggunakan pensil,bolpoin,atau spidol,lalu bila sudah mantap baru teman-teman membuat graffiti di tembok dengan menggunakan pilox atau cat.Selamat mencoba....
"graffiti" di jalan ibukota
Niatnya Menghibur Pengguna Jalan
Beraksi di malam hari, Pylox dan cat tembok adalah senjata mereka. Ini dia para pelukis kota!
Akhir-akhir ini banyak banget lukisan jalanan yang dibuat di tembok jembatan layang, tembok samping rumah, tembok pembatas lahan tidur, sampai rolling door toko yang sudah tutup.
Tulisan itu kadang berbentuk huruf dengan menggunakan cat semprot atau cat tembok. Kadang tulisan itu merupakan campuran huruf dan gambar. Yang pasti, karena warnanya sangat mencolok, lukisan tadi jadi menarik perhatian para pengguna jalan.
Itulah graffiti yang belakangan lagi subur pertumbuhannya. Seperti enggak bisa melihat "lahan kosong", setiap minggu ada saja tulisan graffiti baru menyapa kita di jalan.
Walaupun kadang tulisannya hanya berbunyi nama kelompok dan nama orang, graffiti juga bisa membuat kita terkagum-kagum karena bentuk-bentuk hurufnya yang atraktif. Malah kadang kita enggak mampu membaca tulisan itu gara-gara terlalu susah untuk dieja.
Ternyata di balik semua keindahan itu, para pelukis graffiti (sering disebut bomber atau writer) di kota-kota besar dan Jakarta pada khususnya, menyimpan cerita sedih, seru, sekaligus menegangkan pada waktu pembuatannya.
"Gue enggak tahu kenapa graffiti sering dilarang. Padahal itu kan seninya tinggi. Daripada tembok di Jakarta dipenuhi sama coretan nama gang sekolahan yang enggak jelas," keluh Adhit waktu mengajak Tim Muda dalam "pengeboman" di suatu malam.
Cowok kurus berkacamata ini memang menjadi salah satu bagian dari komunitas graffiti yang ada di Jakarta. Wajar saja kalau dia lebih sering "berkarya" (mereka mengistilahkannya dengan ngebom) di tengah malam. Soalnya pada saat itu, aktivitas Adhit bersama teman-temannya menjadi tidak diketahui orang. Dengan begitu, tidak ada petugas keamanan yang bisa menghalau mereka.
"Biasanya sih yang ngusir kita tuh Polisi Pamong Praja. Kalau ketangkap, paling kita disuruh bersihin karya kita pakai cat putih, terus dibawa sebentar ke kantor polisi," katanya lagi.
Asal-usul
Dari mana asalnya ya, kok graffiti jadi ramai kayak gini?
Susah banget kalau mencari dari mana asalnya graffiti ini. Yang pasti sejak zaman perang kemerdekaan, kita sudah mengekspresikan keinginan untuk merdeka lewat graffiti.
Walaupun dengan skill dan peralatan yang masih sederhana, konsep tulisan dan dinding menjadi media paling aman untuk mengekspresikan pendapat secara diam-diam pada saat itu.
Istilah graffiti sendiri diambil dari bahasa latin, graphium yang artinya menulis. Awalnya istilah itu dipakai oleh para arkeolog untuk mendefinisikan tulisan-tulisan di bangunan kuno bangsa Mesir dan Romawi kuno.
Pada perkembangannya, graffiti di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban sebagai jati diri gang yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang kurang bagus, graffiti malah telanjur jadi momok bagi keamanan kota. Alasannya karena dianggap memprovokasi perang antarkelompok atau gang. Parahnya, selain dilakukan di tembok kosong, ngebom pun dilancarkan di kereta api bawah tanah.
Di Amerika sendiri, setiap negara bagian sudah punya peraturan sendiri untuk membungkam graffiti. Di San Diego, California, sampai New York, semua punya undang-undang yang menyebutkan bahwa graffiti adalah ilegal. Untuk menghukum semua pelakunya, graffiti pun dibagi menjadi dua jenis.
Yang pertama adalah gang graffiti. Yaitu graffiti yang berfungsi sebagai identifikasi daerah kekuasaan lewat tulisan nama gang, gang gabungan, para anggota gang, atau tulisan tentang apa yang terjadi di dalam gang itu.
Yang kedua adalah tagging graffiti. Yaitu jenis graffiti yang sering dipakai untuk ketenaran seseorang atau kelompok. Makin banyak graffiti jenis ini bertebaran, maka makin ngetoplah nama si pembuatnya. Makanya graffiti jenis ini perlu tagging alias tanda tangan dari writer atau bomber-nya. Semacam tanggung jawab karya-lah!
Di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sepertinya masih belum ada undang-undang yang secara tegas menyebutkan bahwa sebuah graffiti itu ilegal. Tapi kalau mendengar cerita-cerita dari bomber-bomber Ibu Kota yang sering disuruh menghapus piece (karya) mereka, kayaknya aksi mereka memang bikin gerah pemerintah kota.
Hal ini juga pernah dialami seniman mural. Mural yang berbeda dengan graffiti dalam hal bentuk gambar, pernah dijadikan hiasan kota lewat event Jak@rt tahun 2001 yang melibatkan puluhan seniman mural di Jakarta. Tapi tiba-tiba karya mereka banyak yang dihapus cat putih karena dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah kota (waktu itu masih Pemda)
"Kebijakan Pemda DKI Jakarta adalah tidak menerima adanya lukisan yang dinilai tidak senonoh," kata Muhayat, Kepala Biro Humas Pemda DKI Jakarta waktu itu, seperti dilansir Harian Kompas (7 Agustus 2001).
Waduh, kalau gambar yang bagus kayak mural saja dilarang, bagaimana kabarnya dengan graffiti yang cuma bermain dengan bentuk huruf ya?
Akhirnya, para bomber memang bergerak diam-diam. Mereka menggunakan media internet untuk merencanakan aksi mereka. Mulai dari SMS, e-mail sampai friendster semua dipergunakan.
Mereka biasa berkumpul di sebuah meeting point yang udah ditentukan. Di situ mereka merencanakan soal spot (lokasi inceran), jalur dan keamanannya. Kalau yang ikut sampai ada banyak kru, diperlukan beberapa tim advanced untuk ngecek keadaan spot.
Setelah dirasa aman, barulah pasukan yang lain datang ke lokasi. Tapi kalau hanya sedikit kru yang ikut, mungkin bisa dilakukan sekaligus.
Penyegaran mata
Bayangkan kalau kita lagi terjebak di kemacetan kota. Entah itu di kolong jembatan atau di samping tembok panjang. Terus di samping kiri-kanan terpampang graffiti dalam berbagai bentuk. Nah, para bomber tadi sih maunya menjadikan karya-karya tuh sebagai penyegaran mata.
"Kan enak, lagi macet sambil melihat graffiti. Kesannya lagi di galeri lukisan gitu. Terus mereka juga bisa nilai karya siapa yang paling bagus. Jadi biarlah para pengguna jalan menjadi juri," kata Dhika, salah seorang bomber yang ditemui Tim Muda pas sebelum beraksi.
Operasi "pengeboman" selalu dilakukan lewat tengah malam. Beberapa hari sebelumnya mereka pasti melakukan survei lokasi. Hasil check spot tadi bisa berbuah dua hal. Mereka bisa menemukan spot baru, atau mereka malah menemukan spot karya mereka perlu diperbarui.
"Biasanya sih kami perbarui dengan cara menimpa karya yang lama. Tapi kami enggak pernah nimpa atau merusak karya orang lain. Kenapa mesti diperbarui? Ya karena sudah bosan aja dan kadang sudah basi isi pesannya," kata Echo, pentolan Morden Crew, yang membawa Tim Muda keliling wilayah Kebayoran Baru, Jakarta, untuk melihat lokasi pengeboman malam itu.
Isi pesan sebagian besar graffiti crew di Indonesia, khususnya Jakarta mungkin masih bersifat tagging crew alias cuma menonjolkan nama kelompok demi kepopuleran. Nama-nama kru disemprot dalam berbagai bentuk yang bisa menimbulkan decak kagum karena keindahannya.
"Kadang kita juga bikin pesan khusus seperti selamat ulang tahun untuk temen, pesan cinta untuk cewek, pesan sosial juga ada kok. Yang pasti kita enggak main politik. Cinta aja deh," aku Echo lagi.
Ngebom
Akhirnya kita sampai di lokasi. Daerah Gandaria pagi dini hari itu makin gelap. Waktu menujukkan pukul 2 dini hari. Sabtu malam, sudah berganti Minggu. Echo bersama 4 orang temannya turun dari mobil VW Combi sambil mempersiapkan dua lusin pyloks yang baru dibelinya tadi sore.
Di hadapan mereka ada sebuah karya yang akan diperbarui. Adhit mengamati desain baru yang terkumpul dalam sebuah binder. Setelah menyetujui sebuah desain, Echo turun beraksi membuat garis-garis pinggir huruf demi huruf, sementara Adhit mengawasi dari kejauhan. Hebatnya, semua itu mereka lakukan tanpa bantuan penggaris, skala, dan... penerangan lampu!
Mereka mengerjakan satu desain dalam waktu kurang lebih dua jam. Awalnya, belum berbentuk. Bahkan ketika udah jadi pun, karya mereka ini belum bisa dinikmati karena kurangnya cahaya.
Besoknya, ketika hari sudah terang, graffiti itu tampak mencolok di pojokan jalan. Membuat para pengguna jalan melintas pelan di jalan sambil berusaha membaca tulisan itu pas mereka berhenti di lampu merah.
Niat mereka menghibur pengguna jalan pun terwujud... at least buat sebagian orang.
graffiti legal!!!!!!!!semua orang boleh meniru
bOb MaRlEy
ThE boB mArLeY
Merentang Riwayat Reggae,Bob Marley & Rasrafara (Rasta Man)
Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.Album “Catch A Fire” (1972) yang diluncurkan Bob Marley and The Wailers dengan cepat melambungkan reggae hingga ke luar Jamaika. Kepopuleran reggae di Amerika Serikat ditunjang pula oleh film The Harder They Come (1973) dan dimainkannya irama reggae oleh para pemusik kulit putih seperti Eric Clapton, Paul Simon, Lee ‘Scratch’ Perry dan UB40. Irama reggae pun kemudian mempengaruhi aliran-aliran musik pada dekade setelahnya, sebut saja varian reggae hip hop, reggae rock, blues, dan sebagainya.Akar musikal reggae terkait erat dengan tanah yang melahirkannya: Jamaika. Saat ditemukan oleh
Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One Love! One Heart!Lets get together and feel all right.Hear the children cryin (One Love!);Hear the children cryin (One Heart!)(One Love / People Get Ready)
Dreadlock (gimbal)Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
REGGAE & RASTAFARIAN
Reggae merupakan salah satu jenis aliran musik yang sudah tidak asing lagi, meskipun komunitas pecinta musik reggae di
Sayangnya, meskipun menyuarakan perdamaian, banyak pula yang memandang negatif terhadap komunitas penggemar musik reggae. Mereka diidentikkan dengan kehidupan bebas serta konsumsi daun ganja.
Irama musik reggae ini, terdengar mengasyikkan. Iramanya yang dinamis, membuat pendengarnya terhanyut. Mereka ikut menghayati lirik-lirik dalam sebuah lagu berirama reggae ini.
Sepintas, penampilan para penggemar musik reggae ini seakan menunjukkan
Soal penggunaan ganja untuk menikmati musik reggae tidaklah diterima oleh seluruh penikmat musik reggae. Menurut mereka, reggae sebetulnya adalah musik yang membawa pesan perdamaian.
Sehingga tak ada hubungannya sama sekali dengan penggunaan ganja yang merupakan benda ilegal untuk dikonsumsi secara bebas.Musik reggae semakin populer ke seluruh penjuru dunia di era tahun 1980-an, termasuk di
Pada praktiknya, menghisap ganja dapat memunculkan fantasi tertentu bagi penggunanya. Dan ini yang diyakini oleh sebagian orang agar dapat membuat mereka lebih menikmati musik yang dimainkan.Bagi sebagian orang, reggae sebetulnya dapat memberikan pengaruh yang positif. Selain lirik lagu reggae berisi pesan perdamaian, juga memberikan dorongan untuk membuat hidup lebih baik.
Pesan perjuangan yang diusung dalam musik reggae, diilhami dari kondisi sosial di Afrika, khususnya di Jamaika, yang merupakan daerah koloni negara-negara Eropa.Karena itu, tidak heran orang-orang yang bernasib serupa dengan orang Jamaika, akhirnya juga menyukai reggae.Namun, tidak semua penggemar reggae memahami makna di balik gelora musik ini. Sebagian masih melihatnya sekedar sebagai hiburan belaka, yang berkonotasi dengan suasana santai, atau liburan.
Sebutan rastaman muncul karena musik reggae awalnya diusung oleh penganut rastafari. Masalahnya, banyak yang menyalahartikan identitas rastafari. Padahal, para penganut rastafari tidak identik dengan alkohol atau pun ganja. Bahkan, mereka tidak memakan daging alias vegetarian.
Sejatinya, rastafari awalnya merupakan suatu gerakan yang populer di Karibia. Gerakan ini menolak bangsa Afrika berada dalam penindasan kulit putih.Ras Muhamad(musisi reggae
Sesungguhnya, penganut rastafari yang disebut sebagai rastaman, atau rastafarian tidak mengkonsumsi alkohol, obat bius, ganja, dan beberapa diantaranya adalah vegetarian. Perbedaan cara memandang pada gerakan ini lebih disebabkan minimnya sumber-sumber informasi yang benar-benar paham akan rastafari. Sehingga justru yang timbul dan diikuti oleh sebagian orang adalah perilaku negatifnya saja.Salah satu musisi Jamaika, Bob Marley, yang juga menganut rastafarian, memberi andil yang signifikan dalam mempopulerkan reggae ke dunia internasional. Tembang-tembang yang dimainkan oleh Bob Marley memanifestasikan gerakan perjuangannya melawan rezim apartheid di Afrika.
Lagu dalam musik reggae yang berisi pesan perdamaian, serta perjuangan terhadap kehidupan maupun kritik-kritik sosial dilatarbelakangi situasi di Afrika, lebih khusus lagi di Jamaika, yang kerap mengalami pertikaian politik.Lagu-lagu yang berakar dari musik Jamaika, seperti reggae atau ska, yang sarat dengan semangat anti perbudakan, keinginan untuk hidup mandiri, serta memiliki tujuan yang jelas dalam hidup, merupakan bagian yang tidak jauh berbeda dengan falsafah Rastafari.Namun, bagian positif seperti ini kerap luput dari pandangan banyak penggemar reggae. Sebagian besar justru lebih banyak terbawa arus